twitter


PENDAHULUAN

A. Pengantar

Pernahkah Anda berpikir, mengapa hampir seluruh siswa dan Mahasiswa ataupun Mahasiswi di Indonesia, Tidak menyukai pelajaran matematika, bilamana Anda meluangkan waktu untuk menyadari hal-hal kecil tersebut. Tentunya aneh jika Anda berpikir, bahwa hal tersebut dipicu oleh kesepakatan bersama.
Terpikirkan jugakah, mengapa Anda atau teman-teman Anda lebih senang menghabiskan waktu dengan bermain game atau pergi ke tempat perbelanjaan yang terkesan mambuang-buang waktu. Padahal, anda bisa memanfaatkan waktu luang anda untuk belajar terutama pelajaran yang sulit di pahami seperti matematika.
Tidak kah sekarang ini, setelah beberapa fakta yang saya hadirkan kepada Anda sebagai awal daripada Paper saya, memancing Anda untuk bertanya lebih jauh lagi? Maka Paper ini tepat untuk membantu Anda memahami, ada apa dibalik semua kejadian yang bersamaan ini.

B. Fokus Masalah

Paper saya ingin mengajak Anda mengetahui bahwa ini adalah suatu fenomena yang hampir mendunia terutama pada kalangan anak-anak, yang kemudian membentuknya menjadi suatu budaya .
Bagaimanakah keadaan Matematika dalam kehidupan kita sekarang?
Mau tidak mau saya harus mengakui kenyataan kalau Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dihindari, ditakuti, dibenci dll. Banyak siswa yang baru mendengar kata Matematika saja langsung bereaksi negatif. Ada yang langsung mengeluh matematikanya sulit lah bahkan kadang sampai membawa-bawa sang guru, “Pak Thekings galak tur nyebahi sih dadine males karo Matematika” (“Pak Thekings galak dan menyebalkan sich jadi males sama Matematika”).
Lalu yang jadi pertanyaan, “Kenapa citra Matematika begitu buruk di mata sebagian siswa kita? “
Pada peper berikut ini, saya akan mencoba menguraikan pendapat saya tentang hal ini (maaf ini sangat subyektif karena hanya ditinjau dari sudut pandang saya).



ISI

A. Penguraian Definisi
Paper yang saya buat berjudul “Waduh...76,6% Anak Buta Matematika!”, dimana yang menjadi fokus utamanya adalah kondisi sosial dan budaya. Saya ingin sekali menegaskan, bahwa “Kenapa citra Matematika begitu buruk di mata sebagian siswa kita? “
Sebuah studi menunjukkan, 76,6 persen siswa Indonesia setingkat sekolah menengah pertama (SMP) ternyata 'buta' matematika. Ironisnya, kondisi tersebut ditemukan di tengah berbagai prestasi anak Indonesia dalam olimpiade-olimpiade sains internasional.
Matematikawan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Iwan Pranoto, dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan Ikatan Guru Indonesia (IGI) akhir pekan lalu menyatakan, kondisi buta matematika itu bahkan tidak berubah sejak 2003 lalu. Selama tujuh tahun, dari skala 6, kemampuan matematika siswa Indonesia hanya berada di level ke-2.
“Situasi ini menunjukkan pendidikan matematika yang sekarang tidak mampu mengangkat ke level 2 atau lebih atas. Pembenahan pendidikan matematika sekolah kita belum berhasil,” Iwan menegaskan, seperti dikutip dari keterangan tertulis IGI, Selasa (1/2/2011).

Studi lainnya dari The Program for International Student Assessment (PISA) pada 2010 memperlihatkan kondisi serupa. Posisi Indonesia ada di peringkat ketiga dari bawah, lebih baik daripada Kirgistan dan Panama. Namun, Iwan memaparkan, yang perlu dikhawatirkan bukanlah posisi tersebut, melainkan dua fakta penting lainnya. Pertama, persentase siswa Indonesia yang di bawah level dua sangat besar (76,6 persen), dan persentase siswa yang di level lima dan enam secara statistika tidak ada.

Menurut pendefinisian level profisiensi matematika dari Organisation for Economic Co-operation and Development(OECD), siswa di bawah level dua dianggap tidak akan mampu berfungsi efektif di kehidupan abad 21,” ujar Iwan menambahkan.

Iwan menyayangkan, kegiatan bermatematika di Indonesia hanya parsial, dan berpusat pada penyerapan pengetahuan tanpa pemaknaan. Padahal, yang dituntut dunia adalah kegiatan bermatematika secara utuh dan berpusat pada pemanfaatan hasil belajar matematika dalam kehidupan berupa pemahaman, keterampilan, dan sikap atau karakter. Ketidaksesuaian ekspektasi kebermatematikaan pada program pendidikan matematika di Indonesia dan dunia di abad 21 itulah yang menyebabkan kondisi kebermatematikaan Indonesia sangat buruk.

“Praktik pendidikan matematika di Indonesia masih terpusat untuk mempersiapkan siswa melanjutkan ke pendidikan tingkat tersier, tetapi dunia di abad 21 ini justru memandang pembelajaran matematika yang paling utama untuk berfungsi efektif di kehidupan sehari-hari sebagai warga yang peduli, konstruktif, dan piawai bernalar,” kata Iwan menandaskan.

Diskusi yang diselenggarakan di sekretariat Gerakan Indonesia Mengajar (GIM) ini dihadiri oleh Wakil Menteri Pendidikan Fasli Jalal dan Ketua Program GIM Anies Baswedan. Tamu lainnya adalah guru besar ITB Profesor Bana Kartasasmita, sejumlah dosen dari berbagai perguruan tinggi, guru dari sejumlah sekolah, pemerhati pendidikan, serta wakil dari Pusat Penelitian Pendidikan, Pusat Kurikulum dan Perbukuan, serta Pusat Penelitian Kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional.

B. Pembahasan

" apa citra Matematika begitu buruk di mata sebagian siswa kita?“
1. Faktor Matematika itu sendiri.
Matematika menuntut banyak analisa, perhitungan, dll (banyak siswa yang cenderung memilih menghafalkan dari pada berhitung). Lalu adakah cara untuk membuat Matematika (benar-benar sebagai ilmu) menjadi lebih menyenangkan ?
2. Faktor guru
Guru memegang peranan yang sangat penting dalam pendidikan (sebenarnya lebih tepatnya pengajaran). Penguasaan materi yang dicapai siswa tentu saja sangat tergantung pada guru. Ada hal yang saya soroti dari faktor ini, yaitu tentang perilaku guru (maaf, bingung cari istilah yang tepat untuk ini).
Perilaku guru:
Jaman dulu guru Matematika identik dengan galak karena beliau-beliau suka menghukum (istilah jaman dulu strap) siswa jika mereka tidak mengerjakan soal. Hukuman tersebut juga lebih bersifat fisik, misalnya berdiri di depan kelas dengan satu kaki atau dipukul dengan penggaris (kejam ya?). Tentu saja mungkin jaman sekarang tidak ditemui model hukuman seperti itu (semoga saja) tetapi kesan guru galak sudah terpatri dan menyatu dengan Matematika. Memang benar sekarang bukan jamannya hukuman fisik tetapi entah kebetulan atau tidak ternyata memang masih banyak guru Matematika yang tidak simpatik (tanya saja sama anda. Pasti dijawab ada, yaitu Pak Thekings).
Ketidaksimpatikan guru tersebut tentu saja sangat berpengaruh pada minat siswa terhadap mata pelajaran yang diampu sang guru. Misalkan seorang siswa sudah tidak senang dengan guru Matematika maka pelan-pelan dia akan apriori juga dengan Matematika. Guru kan bisa diibaratkan jembatan antara ilmu dengan siswa, jadi gimana siswa bisa menyeberang jika dia tidak melewati jembatan itu. Memang sih siswa bisa menyeberang dengan berenang atau naik perahu, tetapi tidak semua siswa bisa berenang atau menyewa perahu. Benar kalau ada yang bilang siswa kan juga manusia yang bisa belajar sendiri tanpa bantuan sang guru, siswa bisa otodidak.
Tetapi sekali lagi tidak semua siswa bisa berenang, tidak semua siswa bisa belajar sendiri tanpa bantuan guru. So, teacher will always have a very important role in education.
Jadi untuk membuat siswa menyukai Matematika salah satu langkah awal yang bisa ditempuh adalah membuat siswa menyukai guru Matematika terlebih dahulu. Dengan metode-metode pembelajaran yang baik dan menarik tentunya.

3. Faktor siswa itu sendiri
Hal yang saya soroti di sini adalah sugesti dan motivasi.
Banyak siswa yang sudah terbujuk legenda turun temurun kalau Matematika itu sulit dan gurunya menyebalkan. Legenda itu benar-benar telah men-sugesti siswa sehingga mereka cenderung kalah sebelum bertanding. Siswa cenderung terlanjur berpikir Matematika sulit sebelum mereka benar-benar mencoba Matematika.
Yang kedua adalah motivasi. Sepertinya motivasi siswa untuk menaklukkan Matematika masih rendah, siswa baru tergopoh-gopoh mengejar Matematika setelah pemerintah menetapkan standar minimal kelulusan. Jadi tetap banyak manfaatnya juga pemerintah menetapkan standar kelulusan, setidaknya itu bisa menjadi pemicu siswa lebih rajin belajar Matematika.
“You can if you think you can”, bukan berarti segala yang kita pikirkan pasti menjadi kenyataan tetapi perkataan tersebut menunjukkan arti penting motivasi dalam pencapaian prestasi diri.



KESIMPULAN

Ini termasuk masalah sosial dikarenakan jumlah anak indonesia yg buta akan matematika tidak sedikit, bila masalah semacam ini berlanjut maka akan berdampak bagi kemajuan Sumber Daya Manusia negara itu sendiri. Sesuai dengan isi paper diatas yang menerangkan bahwa sekitar 76.6% anak Indonesia buta akan matematika. Dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk peran pendidik (guru), faktor siswa itu sendiri, bahkan faktor image matematika yang selalu dianggap sulit sehingga anak tersebut beranggapan dalam psikiologisnya bahwasanya matematika itu sulit untuk dipelajari.
Menurut saya, masalah sosial ini tidak akan pernah usai bilamana tidak ada sugesti dan motivasi yang positif dari pengajar terutama orangtua maupun guru dari siswa itu sendiri tidak lupa menghilangkan citra matematika yang dianggap sulit. Dan saran saya dengan guru yang baik dan metode pembelajaran yang benar semua anak ini bisa menguasai matematika dengan mudah. Jadi terbukti, masalah utama mereka adalah belum ada kesempatan dengan guru yang baik dan metode yang benar. Tidak ada anak yang bodoh. “Semua anak sama pintar”. Yang membedakan hanyalah, sebagian dari mereka tidak memiliki kesempatan belajar dengan guru yang baik dan metode yang benar.


DAFTAR PUSTAKA
Link
http://deking.wordpress.com/2007/03/06/untuk-apa-belajar-matematika/

http://kampus.okezone.com/read/2011/01/13/373/413522/373/yohanes-surya-tidak-ada-anak-bodoh
http://kampus.okezone.com/read/2011/02/01/373/420276/373/pendidikan-matematika-perlu-dirombak
http://kampus.okezone.com/read/2011/02/01/373/420273/waduh-76-6-anak-buta-matematika